MAKNA GEREJA
(Sebuah pemikiran tentang tempat
ibadah)
Bicara tentang gereja, maka mungkin
pikiran kita akan lebih terarah kepada gedung gereja, sebuah bangunan fisiknya.
Oleh karena itu mungkin yang terbayang oleh kita adalah kemegahan gedung
gereja, luas dan besar bangunannya atau indahnya interiornya, atau bahkan
mungkin sebaliknya. Yang terbayang adalah betapa sederhana dan sempitnya gedung
gereja. Tapi gereja bukan sekedar itu ! Yang disebut gereja terutama adalah
orang-orangnya. Orang-orang yang dalam bahasa Alkitab disebut “Ekklesia” (Ek=Ex
= keluar, dan Kaleo = dipanggil). Jadi orang-orang yang dipanggil keluar, yang
kemudian dihimpun Allah untuk menjadi UmatNya (bdk II Petrus 2:9-10).
Orang-orang yang dipanggil dan dihimpun ini, tidak lalu menjadi atau dijadikan
oleh Allah sebagai kelompok yang eksklusif, yang terpisah dan tidak ada
hubungan dengan dunia. Tetapi mereka dikhususkan (dikuduskan) Allah untuk
menerima dan menjalankan tugas mengabarkan kasih kepada dunia ini. Itulah
sebabnya Tuhan Yesus menyebut para murid atau pengikutNya sebagai garam dan
terang dunia (Mat 5:13-15). Sebagai garam dan terang dunia maka sudah menjadi
tugasnyalah untuk menerangi dan menggarami dunia ini. Bukan hanya bagi dirinya
atau kelompoknya saja ! Gereja dan orang-orang di dalamnya tidak boleh menjadi
eksklusif tapi harus inklusif untuk dapat terus mencontoh kasih Allah bagi
dunia ini.
Gereja yang mana yang akan kita bangun?
Gedungnyakah? Tentu tidak hanya itu. Gedung itu hanyalah salah satu sarana saja
untuk menyatakan kasih Allah. Kita rindu “apa yang ada di dalamnya” yang dapat
dibangun dengan baik. Kita rindu gereja kita dapat menjadi gereja yang baik
yang dapat menerapkan beberapa hal yang harus ada sebagai gereja. Hal-hal
tersebut adalah : (bdk Kis 4:32-37)
1.
Kerinduan
umat untuk belajar Firman Allah, Firman Allah dapat menjadi “pelita” yang
menerangi langkah hidup kita sehingga kita tidak tersesat di tengah kegelapan
dunia ini. Dengan itu, dan jika kita senantiasa melakukan itu, maka kita akan
tidak sama dengan dunia ini dan dapat menjadi contoh yang baik bagi dunia. Bagaimana
kerinduan kita saat ini kepada Firman Allah?
2.
Perhatian
dan kepedulian terhadap sesama itulah sebabnya gereja disebut “Persekutuan”
bukan hanya kumpulan atau kerumunan. Dalam persekutuan akan selalu ada perhatian
dan kepedulian terhadap orang lain, sehingga selalu ada kerelaan untuk berbagi
dan saling menolong atau menopang. Tidak hanya sekedar kumpul atau berkerumun
pada hari Minggu.
Untuk dapat mencapai semuanya itu,
tentunya sangat diperlukan dua hal :
Yang pertama : Perencanaan
Amsal 24:18a mengatakan, “ Bila
tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat”. Terjemahan dalam KJV ” where these is
no vision, people perish”. Vision atau visi menjadi sesuatu yang sangat
penting, Tanpa itu kita akan hancur atau gagal. Maka perencanaan yang senatiasa
kita bawa ke dalam bimbingan tangan Tuhan akan sangat menolong setiap upaya
kita.
Yang kedua : Dukungan
Dukungan dalam kebersamaan kita akan
menjadikan segala sesuatu lebih mudah dan mungkin dikerjakan. Dengan saling menopang
dan melengkapi, maka kita yakin pekerjaan pembangunan gereja kita akan dapat
terlaksana. Maka diperlukan dukungan doa, tenaga dan juga dana dari semua dan
setiap kita. Kerinduan kita adalah agar gereja kita dapat menjadi :
●
Gereja yang memiliki persekutuan
yang akrab dan hangat.
● Gereja yang terus bertumbuh dalam iman kepada Kristus Yesus.
● Gereja yang melayani
setiap orang, termasuk masyarakat di sekitar kita.
Sehingga gereja dapat menjadi berkat
bagi semua orang.
● Gereja yang memampukan
setiap orang, bukan hanya secara rohani yang terus
bertumbuh, tapi yang juga memampukan setiap orang untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, melawat yang sakit dan membalut yang terluka.
Gereja yang hidup adalah gereja yang
"meminjam istilah Dietrich Bonhoeffer" ke dalam bermakna, ke luar
relevan. Dengan kata lain, kehadirannya dirasakan tidak hanya oleh umat, tetapi
juga oleh masyarakat di sekitarnya. Gereja yang hidup, pada dirinya sendiri,
adalah Injil, kabar baik, bukan hanya bagi para warga jemaat di dalamnya,
tetapi juga bagi masyarakat di luar gereja. Ia seperti "oase" di
tengah padang gurun dunia. Berikut ini adalah tujuh karakteristik gereja yang
hidup.
1. Visi yang jelas Visi seumpama
titik terang di ujung lorong yang gelap, kepadanya segala daya dan upaya
diarahkan. Visi tidak hanya akan menjawab pertanyaan untuk apa gereja itu ada,
tapi juga kemana gereja itu akan mengarah. Oleh sebab itu, gereja ada tidak
sekadar "menggelinding". Padat programnya, sibuk aktivitasnya, tetapi
tidak jelas maknanya. Gereja mesti tahu kemana arah tujuan dan apa yang ingin
dicapai. Ia tidak berjalan bagai dalam labirin tak berujung. Dalam Amsal 29:18
versi King James dikatakan, "Where there is no vision, the people
perish". Tanpa visi, rakyat binasa (Lembaga Alkitab Indonesia
menerjemahkan: "Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat").
Memiliki visi seumpama anak panah yang punya sasaran bidik; titik di mana semua
energi, kemampuan, dan perhatian seluruh anggota diarahkan; landasan sekaligus
tujuan dari semua kegiatan dan program gereja.
2. Struktur organisasi yang dinamis tidak ada yang meragukan peran Roh Kudus
dalam gereja. Namun, hal itu bukan berarti gereja tidak perlu ditata. Paulus
mengatakan bahwa segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur (1
Korinstus 14:40). Struktur organisasi yang dinamis memungkinkan "aturan
main" yang jelas, tegas, sekaligus terarah, sehingga gereja cepat tanggap,
bereaksi secara akurat, dan berinteraksi secara tepat. Ketidakharmonisan bisa
diminimalkan, potensi yang ada pun bisa disalurkan lebih efektif dan efisien
untuk mencapai visi.
3. Ibadah yang hangat Guru Sekolah Minggu bertanya kepada seorang anak,
"Mengapa tidak boleh berisik di gereja?" Si anak menjawab,
"Karena mengganggu orang tidur!" Cerita ini memang hanya
joke/lelucon, tetapi joke biasanya berangkat dari sebuah realitas tertentu.
Ibadah yang hangat memungkinkan jemaat pulang dari beribadah dengan mendapatkan
"sesuatu"; baik dari khotbah yang disampaikan, maupun dari suasana
ibadah yang dibangun, sehingga dapat dijadikan "bekal" dalam hidup
keseharian mereka.
Akan tetapi, jangan salah, ibadah
yang "hidup" tidak sama dengan ibadah yang ingar bingar, penuh musik,
dan sorak sorai. John Stott berpendapat tentang ibadah yang penuh kekhidmatan
sekaligus penuh sukacita, yaitu ketika warga jemaat turut terlibat dengan penuh
antusias; khotbah disampaikan oleh hamba Tuhan yang secara sungguh-sungguh
menyiapkan dan menggumuli firman Tuhan; tim musik dan pemandu pujian yang
disiapkan dengan baik.
4. Persekutuan yang akrab Relasi akrab antar warga jemaat itu penting. Relasi
yang akrab akan mengikat mereka dalam sebuah persekutuan yang harmonis.
Seumpama sebuah keluarga, perbedaan bisa tetap ada, bahkan juga konflik. Namun,
itu semua tidak akan sampai memisahkan. Sebab ada dasar kokoh yang melandasi,
yaitu kasih Kristus. Paulus sangat menekankan relasi kasih ini (Kolose 3:12-17,
Filipi 2:1-11). Tuhan Yesus juga menasihatkan para murid untuk saling mengasihi
(Yoh 15:12). Bahkan relasi kasih ini dikatakan sebagai identitas para murid-Nya
(Yoh 15:14-16). Bisa jadi kedengarannya "klise", tetapi itulah yang
harus dibangun. Tanpa dasar kasih Kristus, tidak akan ada keakraban. Ciri-ciri
persekutuan yang akrab, yaitu adanya kerinduan untuk bertemu, rasa
"nyaman" dan "aman" bila bersama-sama, dan ada keinginan
untuk saling berbagi dan melindungi.
5. Pembinaan yang berkesinambungan
dan terarah Pembinaan kelompok-kelompok di dalam jemaat (sekolah minggu,
remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa) dilakukan secara berkesinambungan dan
terarah; tidak sporadis; tidak berjalan sendiri-sendiri; bukan suka-suka
kelompok yang bersangkutan. Begitu juga kelompok-kelompok lain, seperti
persekutuan wilayah, kelompok sel, dan pendalaman Alkitab. Pertanyaan kunci
guna menunjang pembinaan yang berkesinambungan dan terarah adalah apa yang mau
dicapai pada masa yang akan datang.
6. Pelayanan ke luar dan ke dalam Pelayanan
yang dimaksud di sini adalah "pelayanan sosial", seperti ketika para
rasul menunjuk ketujuh orang diaken dalam Kisah Para Rasul 6:1-7. Jadi,
sementara para rasul fokus pada "pelayanan firman", "pelayanan
sosial" tidak terabaikan. Gereja tidak semestinya hanya berkutat dengan
"masalah rohani", tetapi juga perlu "menggarap pelayanan
sosial"; kepada jemaat "perkunjungan, diakonia, dan sebagainya"
dan kepada masyarakat di sekitar gereja : beasiswa, poliklinik, posyandu,
pelatihan keterampilan, dan sebagainya. Untuk itu, gereja memerlukan
inovasi-inovasi baru. Intinya adalah bagaimana agar kehadiran gereja
betul-betul dapat dirasakan sebagai berkat.
7. Membawa perubahan hidup Apabila
misi ke luar gereja adalah supaya semakin banyak orang merasakan sapaan kasih
Allah, mengenal, dan mengakui Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, misi ke dalam
gereja adalah menjadikan warganya memiliki sikap hidup yang "berbeda"
dalam keseharian mereka di mana pun dan dalam peran apa pun. Seperti jemaat
mula-mula yang tidak hanya bertumbuh di dalam, tetapi juga "bersinar"
di luar. Kisah Para Rasul 2:47 menyatakan, "Dan mereka disukai semua
orang." Setiap orang kristiani memiliki identitas ganda; dipanggil dari
dunia dan diutus ke dalam dunia. Artinya, dipanggil untuk menjadi berbeda dari
"orang dunia", tanpa menjadi terpisah dari dunia. Identitas
kekristenan semestinya tidak hanya tampak dalam kehidupan ibadah, tetapi juga
nyata dalam kehidupan etis. Menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13-16).
Disadur dari : Sisipan Renungan Harian ditulis oleh : Ayub Yahya
Diposkan
oleh Panitia Pengembangan Pembangunan GPdI EL-ROI